Senin, 16 April 2012

Cerpen : The Library

sebenarnya ini salah satu dari 3 cerpen yang gue kirim untuk ikut lomba iseng-iseng dalam rangka meramaikan blog yang lagi ulang tahu. jadi maaf sekali kalau cerita ini berkesan membosankan atau tidak pantas di baca. hanya sekedar menuangkan khayalan dan imajinasi saya yang telah meluber keluar.

oke, deh... selamat baca readers :)
....................................................................................................................................................................
Perpustakaan itu terlihat begitu megah dengan arsitektur bergaya eropa yang begitu berseni. Namun siapa yang menyangka bahwa usia tempat itu sudah lebih dari ribuan tahun. Sebuah kastil tua yang dibiarkan alami dan tetap diperbaharui agar tidak melenyapkan keaslian tempat ini.
Aleyna  Lorraine berjalan menyusuri lorong-lorong diantara rak-rak buku raksasa yang menjulang hingga menyentuh plafon tinggi ruangan perpustakaan itu. Aroma dari buku-buku tua mulai menjamah indera penciumannya. Rasanya ia baru saja kembali pada abad ke 15. Sesekali ia berdecak kagum melihat interior ruangan yang begitu membangkitkan suasana.
Gadis itu begitu menyukai kesan yang disuguhkan pada setiap sudut perpustakaan, serta cahaya-cahaya redup yang menenangkan, tak lupa aroma buku-buku tua di sepanjang lorong-lorong kecil yang diapit oleh 2 buah rak buku raksasa. Karena itulah ia memutuskan untuk menghabiskan waktu liburnya selama 1 bulan ini dengan menjadi seorang penjaga perpustakaan. Tentunya dapat membaca buku yang ia inginkan sesuka hati merupakan alasan utamanya.
Aleyna baru saja mengembalikan beberapa buku tebal yang baru saja dikembalikan oleh anggota perpustakaan beberapa menit yang lalu saat tanpa sengaja, lewat celah-celah rak buku yang menjulang tinggi itu, matanya bertatapan dengan mata coklat terang milik seseorang diseberang sana. Darahnya berdesir saat kedua mata coklat itu seolah menatap dalam-dalam penuh arti pada mata hitamnya. Iapun berbelok melewati rak tersebut, guna melihat siapa orang dibalik sana, pemilik mata yang membuatnya tersihir rasa penasaran. Namun nihil, tak ada seorangpun disana.
****
Malampun tiba, sudah waktunya untuk perpustakaan itu tutup. Pegawai perpustakaanpun sudah banyak yang pulang, hampir semuanya, kecuali Aleyna. Gadis berkulit coklat terang dengan bola mata hitam pekatnya, masih terdiam di balik mejanya ditemani sebuah buku tebal yang sejak beberapa jam lalu tanpa sengaja mengundang perhatiannya.
“kau tidak pulang, aleyna ?” Seorang temannya menyapa
Aleynapun mengalihkan perhatiannya dari buku tersebut, menatap temannya dan tersenyum. “tidak, mungkin sebentar lagi. Kau ingin pulang ?”
Wanita berambut sebahu itu mengangguk “seperti yang kau lihat, manis” lalu wanita itu sibuk merogoh tas tangannya, mencari-cari sesuatu. Ekspresi wajahnya berubah lega saat menemukan apa  yang sudah dicarinya. “ini, kau yang bawa” iapun memberikan Aleyna sebuah kunci yang diberi sebuah gantungan berbentuk replika kecil gedung perpustakaan itu. “kau pasti belum punya kuncinya, kan ? Kau pegawai baru ditempat ini, jadi kupinjamkan padamu, manis”
Aleyna kembali tersenyum, menampilkan tulang pipinya, membuat wajahnya yang manis terlihat begitu mempesona. “terimakasih, nona raine. Kau baik sekali padaku. Sepertinya suatu hari aku harus mentraktirmu Currywurst yang terkenal di ujung jalan sana”
“jangan berlebihan, young lady” ujarnya “tapi sepertinya tawaranmu boleh juga”
Percakapan mereka berakhir saat sebuah skuter berwarna hitam berhenti di depan pintu perpustakaan itu.
Perpustakaan itu kini benar-benar sepi. Mungkin hanya gadis itu saja yang berada disana. Ia masih tetap berkonsentrasi membaca buku bacaannya. Buku dengan tulisan tangan yang rapi. Tapi sayang, tintanya telah memudar dimakan usia, begitupun kertasnya yang telah menguning.
Jerman, Agustus 1566
Tanpa sengaja aku menabraknya hingga kakinya terluka. Ia memang tidak menuntut apapun padaku, tapi aku merasa kasihan padanya. Akhirnya kubawa ia ketempatku. Mereka yang melihatku membawanya, terlihat heran. Aku tahu dari sinar mata mereka yang menatapku dengan anehnya. Tapi aku tahu, mereka pasti tidak akan membantah apa yang aku perintahkan. Itu terbukti saat aku menyuruh salah satu dari mereka mengambilkan sebuah perlengkapan medis.
Sebuah diari dari seseorang tak dikenal. Tanpa nama pengarang, penulis atau apapun yang bisa menjelaskan asal-usul buku ini. Sesekali Aleyna mengernyitkan dahinya dan menajamkan penglihatannya saat ia menjumpai tulisan-tulisan yang telah memudar.
Halaman demi halamanpun berlalu, gadis itu nampak tidak bosan-bosan membaca setiap kata-kata yang tersaji di buku tua itu.
 Jerman, September 1566
Tak terasa satu bulan telah berlalu sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Kakinya yang terluka saat itu, telah sembuh 1 minggu setelah aku mengobatinya dirumahku. Dan selama seminggu itu aku menyuruhnya untuk tinggal dirumahku. Awalnya ia memang pendiam. Ia tidak akan bersuara jika tidak ditanya. Tapi kini berbeda. Ia memiliki kepribadian yang hangat. Satu kata darinya mampu membuatku tersenyum. Ia bahkan bisa menghancurkan bongkahan es yang menghalangi pandanganku tentang betapa membosankannya dunia yang kutempati ini. Ia juga mengajarkanku arti sebuah kehidupan.
Aleyna menghentikan aktivitasnya sejenak, hanya untuk memijat pelupuk matanya yang mulai terasa lelah dan menyesap kopinya yang mulai mendingin. Tiba-tiba sebuah suara nyanyian yang begitu merdu menjamah telinganya. Seolah terhipnotis oleh nyanyian itu, ia beranjak dari tempat duduknya, menyusuri setiap lorong diantara rak-rak buku hingga akhirnya suara nyanyian itu semakin terdengar jelas. Nyanyian yang terdengar indah, serta terasa begitu memilukan. Terasa kental sekali rasa sedih dan kekecewaan yang disampaikan.
Di ujung sana, menghadap kearah jendela besar yang memantulkann terangnya cahaya bulan, seorang pria berambut pirang terduduk sembari tangannya memegang beberapa lembar kertas. Ia bernyanyi dengan indahnya. Namun nyanyian itu terhenti saat ia menyadari kehadiran Aleyna yang tengah memperhatikannya. Pria itupun berdiri, menatap kearah Aleyna sesat, kemudian berjalan menjauh.
Aleyna mengenal tatapan itu, mata dan cara pandang yang sama dengan yang menatapnya siang tadi. Tapi mengapa pria itu selalu menjauh saat Aleyna mendekatinya ? Dengan diliputi rasa penasaran yang besar, Aleyna berlari mengejar pria itu. Ia melihat pria itu berjalan dengan santai. Tapi ia harus berlari agar bisa mengejar pria itu.
“kau yang disana !!!” Akhirnya gadis itu berteriak. Kakinya terasa mati rasa karena berlari mengejar pria itu. “bisa kau berhenti berjalan ?”
Sukses. Pria itu menghentikanlangkah kakinya, Aleyna mulai mendekati pria itu. Berhadapan dengannya. Dengan nafas masih tersengal-sengal, ia bertanya “apa yang kau lakukan malam-malam seperti ini ? Perpustakaan sudah tutup”
Pria itu kembali menatap Aleyna, pandangannya seolah menyiratkan kerinduan yang begitu besar. Namun pria itu hanya tersenyum, membuat wajah tampannya yang terpantulkan cahaya bulan dari luar sana semakin terlihat begitu mengagumkan. “akhirnya kau kembali” ujarnya pelan, namun terdengar tegas dan jelas.
Aleyna mematung ditempatnya, perasaan hangat itu menjalar disekujur tubuhnya, darahnya kembali berdesir mendengar suara pria itu. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang juga ikut menghilang saat ia melihat pria itu kembali berjalan, semakin lama semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang entah kemana. Sosoknya seolah menghilang dibalik kegelapan malam yang sunyi.
****
Malampun telah berganti. 3 minggu sudah Aleyna menjalani hari-hari liburnya dengan menjadi seorang pegawai perpustakaan di gedung tua itu. Hampir setiap malam ia pasti bertemu dengan pria itu. Pria yang membuatnya jatuh kedalam rasa penasaran yang besar.
Setiap malam, saat semua pegawai perpustakaan telah pulang, ia pasti akan mendengar suara merdu itu bernyanyi. Menyanyikan sebuah lagu yang begitu kental rasa kesedihan dan kekecewaan. Saat ia mulai mencari asal suara itu, ia pasti menemukan sosok pria itu terduduk di bawah jendela terbesar di sudut ruangan perpustakaan, sembari tangannya menggenggam beberapa lembar kertas. Tapi begitu gadis itu mendekatinya, pria itu justru menjauh, dan hanya berkata “aku senang kau kembali, Alegra”
Mendengar nama ‘Alegra’ disebut, rasa penasaran dalam dirinya semakin memuncak. Siapa Alegra ? Siapa pria itu ? Kenapa pria itu menyebutnya Alegra ? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Dan malam ini telah tiba. Seperti biasa, Aleyna membaca buku yang dipinjamnya. Buku diary milik seseorang dengan tulisan tangan yang sangat rapi.
Jerman, Juli 1567
Sudah dua minggu ini aku tidak bertemu dengannya. Di kampus, di tempat kerja part time-nya, di apartemennya, bahkan di rumah keluarganya di daerah Aachen. Setiap teman-teman serta kerabatnya yang kukira mengenalnyapun telah kutanyai, tapi tak satupun dari mereka yang tahu dimana keberadaannya. Jangan dikira aku hanya mencari dengan diriku sendiri, beberapa pelayanku telah mencarinya. Dan beberapa dari mereka telah menyebarkan berbagai selembaran. Tapi, tak juga satupun yang membuahkan hasil. Mana mungkin sosoknya yang begitu kontras dengan….
Tak ada secangkir kopi hangat yang menemani Aleyna malam itu. Matanya sudah tak sanggup lagi membaca kelanjutan tulisan tersebut yang telah memudar. Tanpa disadainya, ia pun tertidur diatas meja jaganya .
Aleyna masih tertidur, saat seorang pria yang akhir-akhir ini mengusik perhatiannya, kini mendatanginya. Ia melepas blazer hitamnya dan ia gunakan untuk menyelimuti Aleyna yang tengah tertidur. Tangannya bergerak menyentuh kepala Aleyna, mengelus rambut coklat tua gadis itu, kemudian tersenyum samar lalu berbalik, berniat untuk pergi dan meninggalkan gadis itu sendirian. Tapi sayang, langkahnya kalah cepat oleh gerakan tangan Aleyna yang tiba-tiba saja memegang pergelangan tangan pria itu. Menahannya untuk tetep berada disana. Aleynapun terbangun.
“siapa kau ?” Tanya Aleyna tegas.
Tanpa menunggu persetujuan Aleyna, pria itu membawanya kedepan sebuah jendela paling besar di sudut perpustakaan itu. Aleyna menatapnya bingung penuh tanda tanya, tapi ia mengurungkan pertanyaannya itu.
 “siapa kau ? Kenapa kau selalu ada disini setiap malam ?” Aleyna bertanya.
Pria itu berjalan mendekati jendela tersebut. Sosoknya terlihat semakin tampan dan sempurna disinari pantulan cahaya bulan. Kalau boleh jujur, itulah alasan keduanya yang membuat ia begitu penasaran dengan pria dihadapannya ini. Terdengar jelas hembusan nafasnya sebelum ia mulai menjawab pertanyaan Aleyna.
“aku Alex Schwansteiger” ia menghela nafasnya untuk kedua kalinya malam ini. “dan soal kenapa aku selalu ditempat ini malam hari, hanya karena aku tidak bisa menampakkan diriku di hadapan orang banyak. Lagi pula, sinar matahari tidak bersahabat baik denganku”
Aleyna mengangguk mengerti. Ia baru saja akan menanyakan hal lainnya yang mengganjal di pikirannya, tapi alex sudah berada di hadapannya. Ia menatap lekat-lekat mata hitam milik Aleyna, lalu tersenyum. “kau juga pasti bertanya-tanya mengapa aku memanggilmu Alegra. Ya, kau Alegra. Seseorang yang begitu berarti untukku. Dan kini aku bersukur, kau telah kembali Alegra. Ah.. Maaf. Maksudku Aleyna” ia menyentuh wajah Aleyna. Pipinya, hidungnya, bibirnya, kelopak matanya. “aku tahu kau pasti bingung. Tapi semua yang ada pada dirimu, begitu sama dengan Alegra. Bahkan suara dan senyummu. Tatapanmu pun sama. Aku tahu, dia memang telah pergi. Dan memilihmu sebagai dirinya yang baru”  Alex menjauhkan dirinya dari sisi Aleyna, ia memutar badannya melihat cahaya bulan yang semakin meredup, tergantikan oleh timbulnya sinar sang mentari. “waktuku telah habis, Aleyna. Perjanjianku sudah berakhir. Aku telah menemukan sosok Alegra dalam dirimu dan aku senang. Sekarang giliranku untuk memulai kehidupan yang baru. Aku tahu pasti banyak yang ingin kau tanyakan, tapi kau sudah mempunyai buku itu. Selamat tinggal Aleyna”
Terlihat jelas sekali butiran bening di pipi Alex. Ia mengenggam tangan Aleyna. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Sinar keemasan sang mentari dibelakang pria itu mulai nampak. Perlahan tubuh Alex memudar, seiring dengan naiknya sang mentari pagi. Dan beberapa saat kemudian, sosok itu menghilang. Meninggalkan lembaran kertas lusuh yang digenggamnya.
****
Aleyna terbangun. Napasnya memburu. Keringat mulai membasahi pakaian yang ia kenakan. Matanya menatap sekeliling dengan gelisah. Tak ada siapapun disana kecuali dirinya. Ia tersadar saat mendapati dirinya diselimuti oleh sebuah blazer hitam yang bukan miliknya. Tangannyapun menggenggam beberapa lembar kertas kuning yang terlihat lusuh. Sementara di sisi kanannya, sebuah buku bersampul hitam tanpa nama pengarang yang mencuri perhatiannya waktu itu, terpajang dengan penuh misteri.
Mimpi. Ia tahu ia bermimpi. Namun apa itu memang benar hanya sebuah mimpi ? Mimpi itu terasa begitu nyata. Bahkan ia masih bisa merasakan sentuhan jari pria bernama Alex itu di wajahnya. Dan juga hangat tangannya yang menggenggam kedua tangan Aleyna saat pria itu perlahan menghilang. Lalu kertas-kertas yang ada padanya saat ini ? Blazer hitam itu ?
Pertanyaannya tak ia hiraukan saat teringat akan sesuatu dalam buku tersebut. Ia pun membolak-balik halaman buku itu, hingga buku itu menampilkan sebuah halaman dengan beberapa tulisan atau lebih tepatnya lirik. Aleyna mengambil lembaran kertas yang tadi digenggamnya. Menyamakan tulisannya dengan tulisan yang tersaji di dalam buku tersebut. Sama persis. Serta sama persis dengan lirik lagu yang selalu dinyanyikan oleh Alex setiap malam.
Aleynapun menutup kembali buku tersebut, dan tanpa sengaja sebuah kertas terjatuh dari dalamnya. Ia menunduk mengambil kertas tersebut. Iapun membaliknya, foto seorang wanita yang tengah tersenyum penuh kebahagian tersuguhkan dihadapannya dilatar belakangi oleh gedung perpustakaan tersebut. Wanita itu begitu mirip dengannya, dengan rambut keriting gantung berwarna coklat tua, mata hitam pekat, serta tulang pipinya. Foto itu layaknya cermin. Tepat dibagian bawah foto tersebut tertulis sebuah kalimat.
Alegra Marin. Jerman, 25 September 1566. By Alex Schwansteiger
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar